Bisnis Besi Tua yang
Menggiorkan
Belum maksimalnya industri hulu besi
baja Indonesia membuat kalangan pelaku industri besi baja nasional mengandalkan
pasokan besi bekas (scrap) sebagai bahan baku.
Indonesia punya sumber daya mineral
seperti pasir besi atau bijih besi. Namun rendahnya kadar Fe yang dimiliki
mineral-mineral itu, membuatnya perlu dimurnikan sebelum menjadi pellet
iron, sponge iron, pig iron atau besi kasar.
Nah sayangnya, industri permunian
(smelter) belum berkembang, sehingga pasokan besi kasar pun terbatas. Akhirnya
bahan baku besi tua jadi andalan.
Tidak ada angka pasti berapa kebutuhan
besi tua nasional. Namun jika dihitung sederhana dimana komposisi bahan baku
besi tua dua kali lipat dari produk, maka angkanya pasti fantastis.
Menurut data Kementerian Perindustrian,
tahun 2015 produksi baja nasional 7 juta ton. Jika bahan baku dua kali lipat
dari produksi, maka diprediksi kebutuhan bahan baku besi tua mencapai 14 juta
ton.
Sedangkan Berdasarkan data organisasi
untuk pembangunan dan ekonomi (OECD) pada 2013, total kebutuhan baja di
Indonesia mencapai 12,69 juta ton. Sedangkan 8,19 juta ton di antaranya berasal
dari impor dengan nilai 14,9 miliar dolar AS.
Kapitalisasi Besar
Saat ini, 70% dari kebutuhan itu masih
dipenuhi dengan impor. Artinya, 30% kebutuhan besi tua dipenuhi dari dalam
negeri atau angkanya 4 juta ton per tahun. Merujuk harga SteeI Indonesia.com
dimana besi tua Grade A sampai Grade C rata-rata Rp 4.500 per kg, maka estimasi
kapitalisasi bisnis besi tua nasional mencapai Rp 18 triliun setahun atau
sekitar Rp 1,5 triliun per bulan atau Rp 50 miliar per hari!
Itu hanya dihutung dari scrap lokal
saja. Bagaimana dengan impor scrap yang angkanya diperkirakan mencapai 10 juta
ton per tahun? Diperkirakan omset bisnis ini secara nasional bisa mencapai Rp
70 triliun.
Harga beli pengepul seperti Rawi, memang
mau tak mau, harus mengikuti harga dari pengepul yang lebih besar lagi. Rawi
hanya mengambil margin beberapa ratus rupiah. Misalnya, saat Abu membeli besi
bekas dari pemulung seharga Rp3.000. Biasanya, harga beli pabrik di kisaran Rp
3.700 per kilogram.
Margin keuntungan yang diambil Abu
lumayan menggiurkan. Silakan hitung bila dalam satu bulan dia mampu menjual
hingga 40 ton.
Sirkulasi uang di bisnis barang bekas
memang tak boleh dianggap main-main. Bila pengepul sekelas Abu saja mampu
memutarkan uang hingga puluhan juta rupiah per bulan, bagaimana dengan
pemain-pemain besar barang bekas?
Ambil contoh, besi bekas atau yang lebih
dikenal dengan sebutan scrap. Biasanya, scrap ini berbentuk lempengan besi
berukuran 1x1 meter. Salah satu pemain scrap menaksir, besi bekas ini punya
nilai pasar sebesar Rp500 miliar per bulan.
Tidak ada data pasti persebaran ‘kue’
besi tua ini secara nasional. Namun pola persebarannya dapat dibaca melalui
keberadaan industri besi baja di suatu daerah. Misalnya di wilayah Surabaya dan
sekitarnya ada PT Ispatindo (Sidoarjo) dan beberapa pabrik besi baja besar
lainnya, maka bisnis besi tua di wilayah itu akan berkembang.
“Namun Surabaya masih kalah besar
perputaraannya dengan Jabodetabek karena disini boleh dibilang pusatnya
pabrik-pabrik baja besar seperti Gunung Garuda, Krakatau Steel, CakraTunggal,
Toyogiri dan lain-lain,” ujar Direktur PT Putra Sumuragung H Abu Bakar Rawi.
Menurut pria yang memiliki tiga orang
putri ini, secara nasional perputaran BISNIS besi
tua masih dikuasai wilayah Jabodetabek. “Pertama masih Jabodetabek karena
disini banyak pabrik besi baja yang seiap menerima peleburan. Kedua baru
Surabaya,” katanya.
Daerah selanjutnya yang cukup besar
perputaran bisnisnya adalah Semarang dan sekitarnya. Tiga wilayah ini di Pulau
Jawa menurut Abu cukup besar porsinya.
“Mungkin 50% perputaran uang bisnis besi
tua ada di pulau Jawa, selebihnya menyebar ke luar Jawa seperti Medan, Makasar,
dan beberapa wilayah di Kalimantan,” tambah Abu. Peluang Bisnis Terbuka
Bisnis besi tua tergolong jenis bisnis
dengan cara kerja sederhana sehingga dapat dilakukan oleh siapa saja. Ada tiga
jenis rantai pasok di bisnis ini, yaitu pemungut (pencari) besi tua, pengepul,
dan agen penyalur.
Keberadaan agen penyalur juga tergantung
kebutuhan pabrik besi. Ada sejumlah pabrik besi yang menerima langsung pasokan
besi tua dari pengepul, tapi ada juga harus melewati agen penyalur yang sudah
ditunjuk pabrik besi tua.
Bisnis ini tidak memerlukan lini
produksi karena memang tidak memproduksi barang. Semua lini dalam rantai pasok
ini kecuali pengumpul pertama kali, bersifat broker. Para pengumpul besi juga
tidak memproduksi, namun ‘mencari’ dan menerima penjualan besi bekas.
Biasanya pengepul besi bekas dibagi dua
jenis, pengepul kecil dan pengepul besar. Pengepul kecil adalah mereka yang
biasanya membuka lapak di pinggir-pinggir jalan. Nah pengepul-pengepul ini
dimodali oleh pengepul besar untuk membeli besi tua dari pemulung.
Kemudian setiap seminggu sekali besi
bekas dari pengepul-pengepul kecil itu diambil dan dikirim ke agen atau
langsung ke pabrik peleburan besi.
“Begitu saja cara kerjanya. Mudah dan
simple. Cara pembayaran juga cash and carry. Kalau antar besi hari ini, hari
ini juga dibayar oleh pabrik besi atau oleh agen,” kata Abu.
Menurut Rawi, bisnis besi tua ini sangat
menarik sebab selain cara kerjanya mudah, perputaran uangnya juga sangat besar.
“Jangan dilihat dari margin per kilogram yang hanya seratus atau dua ratus
rupiah, tapi lihat dari volumenya, pasti menggiurkan,” pungkas Abu.
Sumber : Steel Indonesia